Kabar Kinabalu – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan penting dalam Perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa anggota Polri aktif dilarang menduduki jabatan sipil tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Putusan ini menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian karena dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.
Baca Juga : Putusan MK Tak Berpengaruh pada Penguatan KPK
Dampak dan Respons Lembaga Lain
Beberapa lembaga dan tokoh publik sudah menyampaikan tanggapan pascaketetapan MK ini. Komisi III DPR, misalnya, mengingatkan Polri untuk segera menyesuaikan diri, karena putusan bersifat final and binding. Sementara itu, Indonesia Police Watch (IPW) memperkirakan sebagian besar dari 4.132 personel Polri yang saat ini menjabat di posisi sipil akan menghadapi konsekuensi langsung.
Polri sendiri telah merespons dengan membentuk satuan kerja (Pokja) khusus untuk mengkaji dampak putusan tersebut. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa institusi akan segera berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk menentukan langkah selanjutnya
Suara KPK: Hening dalam Sorotan
Menariknya, hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memberikan pernyataan resmi terkait putusan MK tersebut. Tidak ada konferensi pers, pernyataan juru bicara, maupun catatan tanggapan publik dari institusi antikorupsi. Hal ini memunculkan pertanyaan publik soal sikap KPK terhadap reformasi birokrasi yang disinyalir berkaitan erat dengan peran Polri dalam jabatan sipil.
Sejauh ini, laporan-laporan media belum mencatat kutipan dari pejabat KPK yang menanggapi putusan MK, baik dari aspek legal maupun dampak operasional di lembaga negara. Ketiadaan tanggapan ini menjadi kontras dengan respons cepat dari Polri dan DPR.
Apa Kata Publik dan Tantangan ke Depan
Putusan MK ini dinilai para pengamat sebagai momentum penting bagi penguatan supremasi sipil dan profesionalisme instansi negara. IPW menekankan bahwa negara perlu memastikan pegawai sipil (ASN) siap menggantikan posisi strategis yang selama ini diduduki perwira aktif Polri.
Namun, tanpa peran aktif KPK dalam menyuarakan sikap terbuka, ada kekosongan narasi dalam wacana reformasi antikorupsi. Sebagian kalangan menilai bahwa KPK seharusnya ikut menggarisbawahi implikasi putusan tersebut terhadap transparansi dan akuntabilitas jabatan sipil, terutama jika melibatkan eks personel keamanan.
Kesimpulan:
Putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil adalah titik balik penting dalam upaya menjaga netralitas dan tata kelola kelembagaan. Walau Polri dan DPR telah menanggapi secara tegas, keheningan KPK menjadi sorotan—dan publik masih menanti apakah lembaga antikorupsi akan memberi pandangan resmi terhadap konsekuensi reformasi jabatan publik pasca-putusan tersebut.








